Larangan memandang ke langit
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ وَأُرَاهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلَاةِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
dari Abu Hurairah, ia berkata; -dan aku melihat bahwa itu adalah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, - beliau bersabda: "Hendaknya orang-orang itu menghentikan dari mengangkat mata mereka ke langit dalam shalat, atau benar-benar Allah akan menyambar mata mereka." (ahmad)
أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
bahwa Anas bin Malik menceritakan kepadanya, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kenapa orang-orang itu mengangkat matanya ke langit di dalam shalatnya, " dan perkataan beliau semakin meninggi hingga beliau mengatakan, "mereka benar-benar berhenti dari itu atau mata mereka akan disambar oleh petir!"(ahmad)
Menurut Qadhi ‘Iyadh’, “Ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a, dan bukan ketika shalat. Menurut Syuraih dan ulama lainnya itu dilarang. Namun mayoritas mereka membolehkannya dan mereka berpendapat, langit adalah kiblat atau arah untuk berdo’a, sebagaimana Ka’bah kiblat dalam shalat. Mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a tidak dilarang, sebagaimana tidak dilarang mengangkat tangan dalam berdo’a”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ [٥١:٢٢]
“Di langit rezekimu dan apa yang kau janjikan.” (QS. Adz-Dzariyat: 22)
Memandang ke tempat sujud
Madzhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa pada saat mengerjakan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud.
# “Saat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya dan memandang tempat sujud dan tatkala beliau memasuki Ka’bah pandangannya tetap kearah tempat sujud sampai beliau keluar Ka’bah. (HR. Baihaqi dan Hakim, dishahihkan oleh Hakim)
# Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam shalat).” (HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Memandang Ke Depan
Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa pandangan orang shalat adalah ke depan.“…. Maka sungguh Kami akan memalingkanmu kearah kiblat yang kamu sukai, maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Menurut Imam Maliki, firman Allah, “Maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram,” apabila pandangan orang shalat diarahkan ke tempat sujud, maka membutuhkan posisi tunduk dan hal ini akan mengganggu kesempurnaan posisi berdiri. Sebagian mereka juga berpendapat bahwa arah pandangan ketika shalat adalah diarahkan ke dada. Menurut Syarik Al-Qadhi, ketika orang yang shalat sedang berdiri, arah pandangannya adalah tempat sujud, seperti pendapat mayoritas ulama, karena akan terasa tenang, dan akan mengarah pada khusu’. Sedangkan ketika ia sedang ruku’, pandangannya diarahkan ke dua belah kaki, dan ketika ia sedang sujud pandangannya diarahkan ke batang hidung, adapun ketika ia sedang duduk arah pandangannya adalah tembok di depan-nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid I)
Memalingkan Wajah
Seseorang yang tengah melakukan shalat, tidak diperbolehkankan untuk memalingkan wajahnya. Karena, pada waktu itu Allah tengah berhadapan dengan wajah hambanya. Sehingga apabila seorang hamba memalingkan wajahnya, secara tidak langsung ia telah memalingkan wajahnya dari Allah.
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kalian shalat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang shalat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri.” (HR. Tirmidzi dan Hakim).
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah telah memerintahkan shalat kepada kalian. Apabila kalian telah menghadapkan wajah kalian dalam shalat, maka janganlah sekali-kali memalingkannya. Karena Allah tengah berhadapan dengan wajah hamba-Nya yang sedang melakukan shalat. Dan Allah tidak akan berpaling, sebelum hamba-Nya memalingkan wajahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi)
Dalam Zaadul Ma’aad I/248 disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang shalat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, “Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak.”
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya.
Memejamkan Mata
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama; apakah dibolehkan atau tidak.
Menurut Ibnu Qayyim: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan pada kita untuk memejamkan mata ketika shalat, dan ulama berbeda pendapat dalam memakruhkannya. Imam Ahmad dan lainnya menganggap hal itu makruh, menurut mereka itu adalah perbuatan Yahudi, namun sebagian ulama membolehkannya dan tidak menganggapnya makruh. Karena menurut mereka, demikian itu (memejamkan mata) akan dapat membantu untuk mencapai kekhusyu’an sebagai inti shalat dan tujuan utamanya.
Dalam kitab Zaadul Ma’ad jilid I, disebutkan bahwa yang tepat adalah: apabila membuka kedua kelopak mata tidak mengganggu konsentrasi maka itu lebih baik, namun apabila di depan arah kiblatnya terdapat dinding yang dihiasi dengan ukiran yang dapat mengganggu konsentrasi shalat, maka dalam kondisi ini memejamkan mata tidak dimakruhkan sama sekali. Dalam kondisi ini pendapat yang mengatakan memejamkan mata lebih dianjurkan dekat sekali dengan pendapat yang menganggap makruh memejamkan mata, jika tidak ada halangan apa pun.
Wallahu A’lam bishawab
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ وَأُرَاهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلَاةِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
dari Abu Hurairah, ia berkata; -dan aku melihat bahwa itu adalah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, - beliau bersabda: "Hendaknya orang-orang itu menghentikan dari mengangkat mata mereka ke langit dalam shalat, atau benar-benar Allah akan menyambar mata mereka." (ahmad)
أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
bahwa Anas bin Malik menceritakan kepadanya, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kenapa orang-orang itu mengangkat matanya ke langit di dalam shalatnya, " dan perkataan beliau semakin meninggi hingga beliau mengatakan, "mereka benar-benar berhenti dari itu atau mata mereka akan disambar oleh petir!"(ahmad)
Menurut Qadhi ‘Iyadh’, “Ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a, dan bukan ketika shalat. Menurut Syuraih dan ulama lainnya itu dilarang. Namun mayoritas mereka membolehkannya dan mereka berpendapat, langit adalah kiblat atau arah untuk berdo’a, sebagaimana Ka’bah kiblat dalam shalat. Mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a tidak dilarang, sebagaimana tidak dilarang mengangkat tangan dalam berdo’a”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ [٥١:٢٢]
“Di langit rezekimu dan apa yang kau janjikan.” (QS. Adz-Dzariyat: 22)
Memandang ke tempat sujud
Madzhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa pada saat mengerjakan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud.
# “Saat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya dan memandang tempat sujud dan tatkala beliau memasuki Ka’bah pandangannya tetap kearah tempat sujud sampai beliau keluar Ka’bah. (HR. Baihaqi dan Hakim, dishahihkan oleh Hakim)
# Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam shalat).” (HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Memandang Ke Depan
Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa pandangan orang shalat adalah ke depan.“…. Maka sungguh Kami akan memalingkanmu kearah kiblat yang kamu sukai, maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Menurut Imam Maliki, firman Allah, “Maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram,” apabila pandangan orang shalat diarahkan ke tempat sujud, maka membutuhkan posisi tunduk dan hal ini akan mengganggu kesempurnaan posisi berdiri. Sebagian mereka juga berpendapat bahwa arah pandangan ketika shalat adalah diarahkan ke dada. Menurut Syarik Al-Qadhi, ketika orang yang shalat sedang berdiri, arah pandangannya adalah tempat sujud, seperti pendapat mayoritas ulama, karena akan terasa tenang, dan akan mengarah pada khusu’. Sedangkan ketika ia sedang ruku’, pandangannya diarahkan ke dua belah kaki, dan ketika ia sedang sujud pandangannya diarahkan ke batang hidung, adapun ketika ia sedang duduk arah pandangannya adalah tembok di depan-nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid I)
Memalingkan Wajah
Seseorang yang tengah melakukan shalat, tidak diperbolehkankan untuk memalingkan wajahnya. Karena, pada waktu itu Allah tengah berhadapan dengan wajah hambanya. Sehingga apabila seorang hamba memalingkan wajahnya, secara tidak langsung ia telah memalingkan wajahnya dari Allah.
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kalian shalat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang shalat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri.” (HR. Tirmidzi dan Hakim).
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah telah memerintahkan shalat kepada kalian. Apabila kalian telah menghadapkan wajah kalian dalam shalat, maka janganlah sekali-kali memalingkannya. Karena Allah tengah berhadapan dengan wajah hamba-Nya yang sedang melakukan shalat. Dan Allah tidak akan berpaling, sebelum hamba-Nya memalingkan wajahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi)
Dalam Zaadul Ma’aad I/248 disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang shalat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, “Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak.”
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya.
Memejamkan Mata
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama; apakah dibolehkan atau tidak.
Menurut Ibnu Qayyim: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan pada kita untuk memejamkan mata ketika shalat, dan ulama berbeda pendapat dalam memakruhkannya. Imam Ahmad dan lainnya menganggap hal itu makruh, menurut mereka itu adalah perbuatan Yahudi, namun sebagian ulama membolehkannya dan tidak menganggapnya makruh. Karena menurut mereka, demikian itu (memejamkan mata) akan dapat membantu untuk mencapai kekhusyu’an sebagai inti shalat dan tujuan utamanya.
Dalam kitab Zaadul Ma’ad jilid I, disebutkan bahwa yang tepat adalah: apabila membuka kedua kelopak mata tidak mengganggu konsentrasi maka itu lebih baik, namun apabila di depan arah kiblatnya terdapat dinding yang dihiasi dengan ukiran yang dapat mengganggu konsentrasi shalat, maka dalam kondisi ini memejamkan mata tidak dimakruhkan sama sekali. Dalam kondisi ini pendapat yang mengatakan memejamkan mata lebih dianjurkan dekat sekali dengan pendapat yang menganggap makruh memejamkan mata, jika tidak ada halangan apa pun.
Wallahu A’lam bishawab
Comments
Post a Comment