Takhalli artinya membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan batin. Di antara sifat-sifat tercela itu menurut Imam al-Ghazali adalah pemarah, dendam, hasad, kikir, ria, takabbur, dan lain-lain.
Takhalli juga dapat diartikan mengosongkan diri dari sifat ketergantungan terhadap kelezatan duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kalangan sufi, kemksiatan dapat dibagi dua ; pertama maksiat lahir yaitu sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut dan mata. Sedangkan maksiat batin ialah segala sifat tercela yang diperbuat anggota batin yaitu hati. Menurut al-Ghazali moral adalah setiap hal yang mengangkat jiwa dan kehidupan menuju cahaya dan kesucian. Sedangakan kejelekan adalah semua hal yang merusak tubuh jiwa serta akal dan menjauhkan ruh dari cahaya dan kesucian. Al-Ghazali mengajak untuk tidak menjilat dalam mencari rezeki, menghilangkan keinginan kuat untuk meraih kenikmatan hidup dan membawa jiwa untuk menuju keindahan-keindahan hidup. Al-Ghazali meremehkan harta, pangkat dan kedudukan jika dalam membela sikap yang demikian terdapat sifat yang menggerogoti moral yang lurus. Al-Ghazali menyerukan untuk menahan jiwa, akal dan tangan dari ketamakan-ketamakan hidup, kenikmatan-kenikmatan hina, kemuliaan palsu dan pertarungan yang batil.
Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah dalam setiap detik.
Tajali merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan” yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”. Tajali merupakan poin poros dalam pemikiran Ibn ’Arabi. Sebenarnya, konsep tajali adalah pijakan dasar pandangan Ibnu Arobi mengenai realitas. Semua pemikiran Ibn ’Arabi mengenai struktur ontologis alam berkisar pada poros ini, dan dari situ berkembang menjadi sistem kosmik berjangkauan luas. Tidak ada bagian dalam pandangan Ibnu Arobi tentang realitas yang bisa dipahami tanpa merujuk pada konsep utama ini. Keseluruhan filsafatnya, secara ringkas, adalah teori tajali.
Bagi Ibn Arabi pengertian tajalli tidak terbatas pada penampakan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami kasyf (keterbukaan tabir dari mata batin mereka), tapi lebih dari itu. Menurutnya, pengetahuan kasyf memberi informasi bahwa alam adalah tajalli Tuhan dalam bentuk yang beraneka ragam, sesuai dengan ide-ide tetap (tentang alam) dalam ilmu Tuhan. Bentuk tajalli dengan tajalli yang lain tidak pernah persis sama, bentuk suatu tajalli tidak pernah berulang, dan tajalli itu akan berlangsung terus tanpa henti. Ajaran Ibn Arabi tentang alam sebagai tajalli Tuhan, bila dikaitkan dengan pengajarannya tentang tasybih dan tanzih, niscaya tidak bisa dipahami dengan pengertian bahwa Tuhan menampakkan diri-Nya secara langsung atau dengan pengertian bahwa Dia berkembang sedemikian rupa sehingga mengaktual menjadi alam dengan bentuk-bentuknya yang beraneka ragam. Pengertian seperti ini bertentangan dengan ajaran tasybih dan tanzih.
Takhalli juga dapat diartikan mengosongkan diri dari sifat ketergantungan terhadap kelezatan duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kalangan sufi, kemksiatan dapat dibagi dua ; pertama maksiat lahir yaitu sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut dan mata. Sedangkan maksiat batin ialah segala sifat tercela yang diperbuat anggota batin yaitu hati. Menurut al-Ghazali moral adalah setiap hal yang mengangkat jiwa dan kehidupan menuju cahaya dan kesucian. Sedangakan kejelekan adalah semua hal yang merusak tubuh jiwa serta akal dan menjauhkan ruh dari cahaya dan kesucian. Al-Ghazali mengajak untuk tidak menjilat dalam mencari rezeki, menghilangkan keinginan kuat untuk meraih kenikmatan hidup dan membawa jiwa untuk menuju keindahan-keindahan hidup. Al-Ghazali meremehkan harta, pangkat dan kedudukan jika dalam membela sikap yang demikian terdapat sifat yang menggerogoti moral yang lurus. Al-Ghazali menyerukan untuk menahan jiwa, akal dan tangan dari ketamakan-ketamakan hidup, kenikmatan-kenikmatan hina, kemuliaan palsu dan pertarungan yang batil.
Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah dalam setiap detik.
Tajali merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan” yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”. Tajali merupakan poin poros dalam pemikiran Ibn ’Arabi. Sebenarnya, konsep tajali adalah pijakan dasar pandangan Ibnu Arobi mengenai realitas. Semua pemikiran Ibn ’Arabi mengenai struktur ontologis alam berkisar pada poros ini, dan dari situ berkembang menjadi sistem kosmik berjangkauan luas. Tidak ada bagian dalam pandangan Ibnu Arobi tentang realitas yang bisa dipahami tanpa merujuk pada konsep utama ini. Keseluruhan filsafatnya, secara ringkas, adalah teori tajali.
Bagi Ibn Arabi pengertian tajalli tidak terbatas pada penampakan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami kasyf (keterbukaan tabir dari mata batin mereka), tapi lebih dari itu. Menurutnya, pengetahuan kasyf memberi informasi bahwa alam adalah tajalli Tuhan dalam bentuk yang beraneka ragam, sesuai dengan ide-ide tetap (tentang alam) dalam ilmu Tuhan. Bentuk tajalli dengan tajalli yang lain tidak pernah persis sama, bentuk suatu tajalli tidak pernah berulang, dan tajalli itu akan berlangsung terus tanpa henti. Ajaran Ibn Arabi tentang alam sebagai tajalli Tuhan, bila dikaitkan dengan pengajarannya tentang tasybih dan tanzih, niscaya tidak bisa dipahami dengan pengertian bahwa Tuhan menampakkan diri-Nya secara langsung atau dengan pengertian bahwa Dia berkembang sedemikian rupa sehingga mengaktual menjadi alam dengan bentuk-bentuknya yang beraneka ragam. Pengertian seperti ini bertentangan dengan ajaran tasybih dan tanzih.
Comments
Post a Comment