Sering sekali dalam kehidupan
sehari-hari kita mengucapkan
InsyaAllah. Namun dalam
kenyataanya kalimat InsyaAllah
sudah berubah makna. Seolah-
olah InsyaAllah berarti “kumaha
engke” (gimana nanti), intinya
penolakan secara halus, tidak
berani mengatakan ‘tidak’ jadi
bilangnya InsyaAllah, padahal
hati menolak untuk memenuhi.
Tahu kah kamu? kita bisa
melihat kualitas keimanan
seseorang dari pemaknaan
kalimat InsyaAllah yang ia
ucapkan. Mengapa? karena lafaz
InsyaAllah itu bukan hanya
sekedar persoalan Akhlak
(integritas), tapi tentang kualitas
Aqidah/keimanan seseorang.
Bagaimana maksudnya?
Begini Bro and Sis… InsyaAllah
memiliki arti ‘Jika Allah
menghendaki’. Biasanya kita
mengatakan InsyaAllah saat akan
melakukan sesuatu. Sedangkan
‘sesuatu’ itu masih bersifat ghaib
(belum tahu akan terjadi atau
tidak). Manusia hanya bisa
berencana, berusaha, dan
berdoa, dan yang memutuskan
apakah hasilnya sesuai dengan
keinginan kita atau bukan adalah
tugasnya Allah, itu disebut
Takdir. Ingat ya…takdir terjadi
setelah kita benar-benar
berusaha dengan optimal. Jika
kita mengatakan ‘pasti’ atau
akan melakukan sesuatu yang
masih ghaib tanpa mengucapkan
InsyaAllah, artinya kita sudah
mendahului Allah, artinya kita
menggurui Allah, sok tahu, sok
hebat.
Sesungguhnya Allah, hanya pada
sisi-Nya sajalah pengetahuan
tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah
Yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam
rahim. Dan tiada seorangpun
yang dapat mengetahui (dengan
pasti) apa yang akan
diusahakannya besok. Dan tiada
seorangpun yang dapat
mengetahui di bumi mana dia
akan mati. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. Maksudnya: manusia
itu tidak dapat mengetahui
dengan pasti apa yang akan
diusahakannya besok atau yang
akan diperolehnya, namun
demikian mereka diwajibkan
berusaha. [QS Luqman: 34]
Rasulullah pernah ditegur oleh
Allah mengenai perkara ini,
Dan jangan sekali-kali kamu
mengatakan tentang sesuatu:
“Sesungguhnya aku akan
mengerjakan ini besok
pagi, kecuali (dengan menyebut):
“Insya Allah” . Dan ingatlah
kepada Tuhanmu jika kamu lupa
dan katakanlah: “Mudah-
mudahan Tuhanku akan
memberiku petunjuk kepada
yang lebih dekat kebenarannya
dari pada ini”. [QS Al-Kahfi:
23-24]
Dalam Tafsir Al-Maraghi, Juz
XV:137 . Telah diriwayatkan
bahwa kedua ayat Al-Kahfi
tersebut turun ketika orang
Quraisy bertanya kepada
Rasulullah saw tentang Ruh,
tentang Ashabul Kahfi, dan
tentang Dzul-Qarnain. Kemudian
Beliau saw bersabda “Besok aku
akan beritakan kepada kalian”
dan beliau tidak mengucapkan
InsyaAllah. Kemudian Allah
menangguhkan wahyu kepada
Rasul selama 15 hari. Sehingga
hal itu menjadi berat atas beliau,
dan orang Quraisypun
mendustakannya.
Itu Rasulullah, apalagi kita,
manusia biasa. Astaghfirullah.
InsyaAllah bukan berarti janji,
kalau janji “Wallahi” , saya
berjanji/bersumpah karena Allah.
Jika kita tidak menepati janji
maka ada sanksi yang kita dapat.
Teladan mengatan InsyaAllah:
Musa berkata: “Insya Allah kamu
akan mendapati aku sebagai
orang yang sabar, dan aku tidak
akan menentangmu dalam
sesuatu urusanpun”. [QS. Al
KAhfi: 69]
Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata: “Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia
menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang
sabar”. [QS Ash Shaaffat:102]
Berkatalah dia (Syu’aib):
“Sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini,
atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan
jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu, maka aku
tidak hendak memberati kamu.
Dan kamu Insya Allah akan
mendapatiku termasuk orang-
orang yang baik”. [QS Al-
Qashash:27]
Maka tatkala mereka masuk ke
(tempat) Yusuf: Yusuf merangkul
ibu bapanya dan dia berkata:
“Masuklah kamu ke negeri
Mesir, insya Allah dalam
keadaan aman”. Ayah dan
saudara perempuan ibunya
(bibi). [QS Yusuf: 99]
Lalu bagaimana menghadapi
fenomena penyimpangan makna
InsyaAllah, pertama adalah mulai
dari diri kita sendiri, biasakan
menggunakan InsyaAllah
setiap akan melakukan aktivitas
yang belum terjadi, sambil
membulatkan tekad (sesuai
antara hati dan perkataan),
memaksimalkan kemampuan
agar sesuatu yang belum terjadi
itu terwujud, setuju?
Jadi katakan InsyaAllah dengan
lengkap, misal, “InsyaAllah saya
akan datang ke undangan
antum” atau “InsyaAllah saya
tidak bisa hadir, karena sudah
ada janji dengan yang lain”.
Memang agak sedikit panjang,
tapi lebih baik, untuk
menegaskan bahwa kita
insyaAllah iya atau tidak
melakukannya, daripada
jawabnya cuma “InsyaAllah”
doang.
Kenapa kita harus menyertakan
InsyaAllah, karena itu bentuk
keyakinan kita bahwa kekuasaan
Allah diatas kekuasaan diri kita,
Allah lah yang Maha mengetahui
segala yang ghaib, Allah Maha
Pemberi Kepastian, Allah lah
yang berkuasa atas 1 detik
kedepan. So, bekerjasamalah
dengan Allah, memohon
pertolonganNya.
Dan perintah Kami hanyalah
satu perkataan seperti kejapan
mata. [QS. Al Qamar:50]
Sesungguhnya perkataan Kami
terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: “kun
(jadilah)”, maka jadilah ia. [QS.
An Nahl:40]
Setelah kita mengatakan
“InsyaAllah…(blablabla)…”
ternyata yang ghaib (yang belum
terjadi) itu menjadi nyata,
Alhamdulillah, itu semua menjadi
takdir Allah (karena sudah
terjadi, setelah kita
mengikhtiarkan), karena
pertolongan Allah. Namun jika
tidak terjadi (tidak sesuai
kehendak kita), kita tidak
berdosa, karena kita tidak
mendahului Allah, tugas (etika)
kita adalah meminta maaf
kepada orang yang
bersangkutan karena tidak bisa
memenuhi hal tersebut, dan
carilah hikmah dibaliknya.
Namun sebaliknya, jika kita tidak
mengucapkan InsyaAllah, dan
ternyata hal tersebut tidak
terjadi, sudah mah berdosa
kepada Allah karena telah
medahului Allah dan tidak
memenuhi perkataanya.
Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan
itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam. [QS
At Takwir: 29]
Katakanlah: “Aku tidak berkuasa
menarik kemanfa’atan bagi
diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah. Dan sekiranya
aku mengetahui yang ghaib,
tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku
tidak akan ditimpa
kemudharatan. Aku tidak lain
hanyalah pemberi peringatan,
dan pembawa berita gembira
bagi orang-orang yang beriman”.
[QS Al A'raf: 188]
Sungguh kami mengada-adakan
kebohongan yang benar
terhadap Allah, jika kami kembali
kepada agamamu, sesudah Allah
melepaskan kami dari padanya.
Dan tidaklah patut kami kembali
kepadanya, kecuali jika Allah,
Tuhan kami menghendaki(nya).
Pengetahuan Tuhan kami
meliputi segala sesuatu. Kepada
Allah sajalah kami bertawakkal.
Ya Tuhan kami, berilah
keputusan antara kami dan
kaum kami dengan hak (adil)
dan Engkaulah Pemberi
keputusan yang sebaik-baiknya.
[QS Al A'raf: 89]
Nuh menjawab: “Hanyalah Allah
yang akan mendatangkan azab
itu kepadamu jika Dia
menghendaki, dan kamu sekali-
kali tidak dapat melepaskan diri.
[QS. Huud: 33]
Wallahu’alam bishshowwab.
by: Muhammad Sainudin Noor
Comments
Post a Comment